PERISTIWA KESYAHIDAN IMAM RIDHA AS DAN SEBAB-SEBABNYA

PERISTIWA KESYAHIDAN IMAM RIDHA AS DAN SEBAB-SEBABNYA

Makmun kembali dari medan perang, hingga sampai pada sebuah mata air bernama “Badidun” yang dikenal dengan “Qusyairah”. Dia tinggal di tempat tersebut, dan berdiri di tepi mata air. Dan ia menikmati pemandangan mata air dan sejuknya air dan putihnya air serta kejernihannya dan tumbuh-tumbuhan hijau yang tumbuh di sekitar tempat tersebut. Dan ia memerintahkan untuk memotong kayu-kayu yang panjang dari pohon-pohon, dan ia menancapkannya di mata air itu dan di atas mata air itu dibangun sebuah bangunan tinggi dari kayu dan daun-daunan. Dan ia duduk di bawah bangunan itu. Dan air mengalir di bawahnya. Pada saat itu Makmun melemparkan satu dirham uang ke dalam air. Di permukaan sekepeng uang itu dituliskan yang terlihat dan bisa dibawa dari permukaan air karena kejernihan airnya. Namun karena dinginnya air, tak seorangpun mampu mencelupkan tangannya ke dalam air itu, Tiba-tiba mereka melihat seekor ikan yang besar yang panjangnya seukuran satu Dzirok (dari siku sampai ujung jari tangan) muncul di dalam air, yang berkilau bagaikan kilauan perak. Makmun berkata: “Barang siapa yang berhasil menangkap ikan itu dan mengeluarkannya dari dalam air, saya akan memberinya hadiah sebuah pedang.”

Salah seorang dari pelayan maju dan menangkap ikan tersebut dan mengangkatnya ke atas. Ketika sampai di tepi mata air atau diatas papan dimana Makmun sedang duduk, ikan tersebut memberontak dan menggelepar-gelepar dan terlepas dari tangan pelayan itu dan bagaikan sebuah batu ikan itu jatuh ke dalam air. Dan air dingin mata air itu menyiprati dada dan leher Makmun sehingga bajunya menjadi basah. Pelayan itu kembali menyelam dan menangkap ikan tersebut kemudian dibungkus sapu tangn-sapu tangan dan meletakkannya di hadapan Makmun. Ikan tersebut masih hidup dan badanya gemetar dan menggelepar-gelepar.

BACA JUGA:  KEUTAMAAN AMIRUL MUKMININ ALI as

Makmun berkata: “Pangganglah ikan ini sekarang juga.” Kemudian pada saat itu juga Makmun gemetar (dan tanda-tanda demam nampak padanya) sedemikian rupa sehingga ia tidak mampu bergerak dari tempatnya. Mereka menyelimutinya dengan selimut yang berlapis-lapis. Namun ia bergetar bagaikan dahan pohon kurma, dan berteriak-teriak البَرْدُ… البَرْدُ (dingin… dingin).

Mereka memutar tubuhnya menghadap ke arah barat dengan di selimuti beberapa selimut, mereka menyalakan bara api di sampingnya, dalam pada itu ia masih berteriak-teriak “dingin… dingin.”

Kemudian mereka membakar ikan dan membawanya ke hadapan Makmun. Namun ia tidak mampu mencicipi ikan tersebut walau sedikit. Penyakitnya telah menghalanginya untuk mencicipi ikan. Ketika keadaannya semakin parah, saudaranya (Muktashim) bertanya kepada dua dokter pada masa itu yang bernama Bakhtisyuk dan Ibnu Masiwaeh):[7] “Apa pandangan ilmu kedokteran tentang penyakit Makmun? Apakah Makmun ada kemungkinan sembuh dan bisa diobati?”

Makmun berada dalam keadaan sakaratul maut. Ibnu Masiwaih maju ke depan, ia memegang salah satu tangan Makmu dengan tangannya. Dan Bakhtisyuk memegang tangannya yang lain. Mereka memeriksa detak nadinya Makmun. Mereka melihat nadi Makmun tidak teratur dan tidak normal, dan menunjukkan kematiannya. Kedua tangan mereka karena keringat yang bagaikan minyak zaitun atau air liur naga yang keluar dari tubuh Makmun, menemper di tubuhnya.

Mereka menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada Muktashim.

Muktashim bertanya: “Ini penyakit apa?”

Mereka menjawab: “ Kami tidak mengenali penyakit semacam ini. Dan kami tidak pernah membaca di kitab manapun. Namun tanda-tanda ini adalah tanda-tanda kehancuran jasad.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Copyright © 2019, Mulla Shadra Hasan Abu Ammar ra