Ketika laki-laki tua Syam itu mendengar ucapan penuh kasih sayang dari imam Hasan as, ia menangis sedemikian berubah sehingga pada saat itu juga ia berkata: “Aku bersaksi bahwa dirimu adalah Khalifatullah di atas bumi ini, Allah swt Lebih Mengetahui bahwa kepada siapa Dia menyerahkan risalahNya”.
Kemudian dia menambahkan, aku mengira bahwa kamu dan Ayahmu adalah musuh terbesar bagiku. Sekarang saya mendapatkanmu kamu adalah orang yang paling kucintai di antara seluruh makhluk Alllah swt. Kemudian ia membewa peralatannya ke rumah imam Hasan as dan selama ia berada di Madinah ia menjadi tamu imam Hasan as. Kemudian ia kembali ke Syam dalam keadaan hatinya dipenuhi rasa cinta dan keyakinan kepada keluarga Nabi saww.
[1]– Mengingat Asmak adalah istri Jakfar Thayyar, dan pada saat itu ia berada di Habasyah, kemungkinan disini terjadi kesalahan lafazh (salah sebut) yang semestinya Salma binti Umais (istri Hamzah as) beliau menyebut Asmak. (Allahu A’lam).
[2]– Dari masalah ini mungkin bisa diambil kesimpulan bahwa imam Ali as menyukai jihad dan pengorbanan di jalan Allah swt. Oleh karena itu putranya ingin diberi nama Harb, dimana akan mengingatkan perang dengan musuh. Akan tetapi perkataan Rasulullah saww merupakan wahyu dari Allah swt, memperkuat dalil dan masalah imamah karena perumpamaan Ali as dengan Harun terhadap Musa as, memberikan pesan: Wahai Ali as, anda adalah wakil Nabi saww. Oleh karena itu berilah putramu nama Hasan ( nama yang sama dengan putra Harun as saudara Musa as) sehingga menjadi pengingat masalah keimamahan dan persaudaraanmu dengan Rasulullah saww. Dengan demikian maqom keimamahan dan kedaruratannya lebih tinggi dari masalah perang di jalan Allah swt. Dan pada dasarnya berjihad dibawah panji keimamahan dan pemimpin Ilahi yang hakiki memberikan makna yang hakiki, jika tidak tidak akan ada maknanya. (pen-1)
[3]– Abul “Aiyas Muhammad bin Yazid Bashri” salah seorang tokoh Najwa dan ahli bahasa serta seorang Syiah Itsna asyari. Dan ucapannya menjadi kepercayaan Syi’ah maupun Sunni. Beliau menulis tiga buku berjudul: Kaamil, Muqtadhab dan Ma’anil Quran. Belia meninggal di Baghdad pada tahun 285 hijriah.
Diterjemahkan dari kitab: NIGAHI BAR ZENDEGI-E CHAHARDAH MAKSHUM, karya SYEKH ABBAS QOMI, halaman 114- 123